Postingan

Menampilkan postingan dari Agustus 11, 2013

Cinta diatas Perahu Cadik

Bersama dengan datangnya pagi maka air laut di tepi pantai itu segera menjadi hijau. Hayati yang biasa memikul air sejak subuh, sambil menuruni tebing bisa melihat bebatuan di dasar pantai yang tampak kabur di bawah permukaan air laut yang hijau itu. Cahaya keemasan matahari pagi menyapu pantai, membuat pasir yang basah berkilat keemasan setiap kali lidah ombak kembali surut ke laut. Onggokan batu karang yang kadang-kadang menyerupai perahu tetap teronggok sejak semalam, sejak bertahun, sejak beribu-ribu tahun yang lalu. Bukankah memang perlu waktu jutaan tahun bagi angin untuk membentuk dinding karang menjadi onggokan batu yang mirip dengan sebuah perahu. Para nelayan memang hanya tahu perahu. Bulan sabit mereka hubungkan dengan perahu, gugusan bintang mereka hubung-hubungkan dengan cadik penyeimbang perahu, seolah-olah angkasa raya adalah ruang pelayaran bagi perahu-perahu seperti yang mereka miliki, bahkan atap rumah-rumah mereka dibuat seperti ujung-ujung perahu. Te

Kunang - Kunang di Langit Jakarta

Ia kembali ke kota ini karena kunang-kunang dan kenangan. Padahal, ia berharap menghabiskan liburan musim panas di Pulau Galapagos—meski ia tahu, kekasihnya selalu mengunjungi pulau itu bukan karena alasan romantis, tapi karena kura-kura. Kura-kura itu bernama George. Mata Peter akan berbinar setiap menceritakannya. Ia termasuk keturunan langsung spesies kura-kura yang diamati Charles Darwin ketika merumuskan teori evolusinya pada abad ke-19. Berapa kali ia sudah mendengar Peter mengatakan itu? Kau harus melihat sendiri, betapa cakepnya kura-kura itu. Ia botak dan bermata besar. Ia tua dan kesepian memang. Namun, sebentar lagi ia akan punya keturunan. Ada benarnya juga kelakar teman- temannya. ”Kau tahu, Jane, itulah risiko punya pacar zoologist. Kamu harus lebih dulu menjadi primata yang menarik untuk membuatnya tertarik bercinta denganmu.” ”Justru itulah untungnya. Aku tak perlu cemas. Karena Peter lebih tertarik memperhatikan binatang langka ketimbang perempuan bera

Laut Lepas Kita Pergi

Ketika Ayah meninggalkan tempat permukiman, hanya kulihat punggungnya yang setengah bungkuk. Kemejanya yang lusuh mengandung banyak lipatan, warnanya buram, dan aku tahu itu bukan miliknya. Ia berjalan tidak terlampau cepat, tetapi jarak antara kami semakin lebar. Semakin terasa bahwa ada bentangan yang segera akan memisahkan kami. Mungkin satu, dua, atau bahkan ratusan kilometer. Sebelum pergi, kurang lebih sepuluh menit yang lalu, Ayah mengatakan, “Aku percaya, kamu bukan pemuda cengeng. Hampir sebulan kita telah menangis bersama-sama. Itu cukup. Tidak perlu diperpanjang lagi. Kita sudah saling berusaha untuk menemukan ibumu. Juga kedua adikmu. Percayakan itu kepada Tuhan. Mungkin kini tempat mereka lebih lapang dibanding kita saat ini. Mungkin tidak ada lagi pikiran yang membebani mereka. Tinggal kita, mau hidup terus atau perlahan-lahan mati.” Mata Ayah memandangku tidak lagi senyalang elang. Tidak ada kemarahan dalam kata-katanya. Aku merasakan ucapan Ayah begitu