Postingan

Menampilkan postingan dari September 1, 2013

Kak Ros

    Begitu keluar dari kamar dan tak  sengaja menatap ke taman itu, aku terpaku: Kak Ros, perempuan hampir separo baya itu, sedang membungkuk menyorongkan wajahnya ke rimbun tapak dara. Tentu bukan sesuatu yang aneh kalau cuma menyorongkan wajah, tetapi ini, seperti kemarin kata Ben, bibir perempuan itu bergerak-gerak samar. Jadi, apakah benar, Kak Ros sedang bicara dengan daun-daun? Dan tampaknya, bukan hanya bicara. Tangan Kak Ros bergerak lembut, menyentuh, mengusap daun-daun. Tangan yang lain, dengan tak kalah hati-hati, menyemprotkan air dari botol sprayer sedemikian rupa, hingga tampak seperti seorang ibu yang memandikan dan mengeramas rambut anaknya. Tempo-tempo, semprot dan usapan itu terhenti, lalu jarinya tampak seperti mengutip dan memindahkan sesuatu dari tangkai atau punggung daun, juga sangat lembut dan hati-hati. Kembali aku ingat kata Ben. Apakah perempuan itu tengah memindahkan semut, atau serangga kecil lain, agar tak terpelanting oleh semprotan air? ”Naa,”

Kue Gemblong Mak Saniah

             Masdudin jengkel melihat istrinya terbahak sampai badannya berguncang-guncang seperti bemo yang tengah menunggu penumpang. ”Apanya yang lucu Asyura?” Pertanyaan itu tak serta-merta membuat Asyura berhenti terkekeh. Khawatir makin jengkel dan penyakit bengek yang membuat napasnya megap-megap kumat, Masdudin melangkah keluar meninggalkan istrinya dan membiarkan perempuan yang rambutnya mulai beruban itu menelan tawa dan bahaknya sendiri. Dia baru mendengar teriakan sang istri ketika badan pendek hitamnya hampir hilang di balik rumah tetangga sebelah. ”Bang!” Meski masih menyimpan rasa kesal, Masdudin menghentikan langkah. ”Sini!” Gerimis halus masih turun dari langit. Masdudin berbalik dan mengikuti langkah istrinya ke ruang tamu. ”Mengapa abang tiba-tiba kepingin makan kue gemblong Mak Saniah?” Asyura bertanya ketika Masdudin tengah mengatur napas. Masdudin berpikir untuk mencari jawaban yang pas. Dia sendiri tak tahu mengapa pagi itu, ketika gerimis jatuh

Sesuatu yang pecah di Senja itu

Mendadak semuanya menjadi begitu penting. Caranya menyingkirkan dengan sabar duri-duri ikan di piringku, suaranya ketika melantunkan doa, wajahnya ketika diam memikirkan sesuatu. Ah, ia selalu seperti itu. Sama dalam hal berpikir atau marah: diam. Dengan arah mata ke bawah tertuju pada pucuk hidungnya dan kedua tangannya bertemu di mulut, seperti tengah membungkam suara. Suatu saat ketika aku tanya mengapa, jawabnya, “Keduanya sama, jangan tergesa-gesa supaya tidak ada yang terluka.” Mendadak semuanya menjadi tidak sederhana. Ia menyetrika sendiri pakaiannya, ia juga sering memasak makanan untuk kami: dirinya, aku, dan Ratri, anak kami yang masih bayi. Seingatku, ia tidak pernah marah dan bahkan bersuara keras padaku. Ia selalu bisa menunda, dan membicarakannya dengan nada sareh di lain waktu. Suatu saat ketika aku tanya mengapa, jawabnya, “Kanjeng Nabi tidak pernah bersuara keras pada istrinya.” Aku bisa mengingat dengan jelas bahkan, ketika kami berdua baru melangsungkan perni