Postingan

Menampilkan postingan dari 2013

Lampu Ibu

Akhirnya bunda datang juga ke Jakarta, didampingi seorang cucu. Kami tidak bisa lagi menutup mata serta telinga beliau. Kasus dan sakitnya abangku, Palinggam, telah disiarkan koran dan televisi. Tak dapat lagi ditutup-tutupi dari bunda. “Antar aku dulu menengok abangmu,” ujar beliau saat kujemput di SoekarnoHatta. “Besok-besok aku menginap di rumah si Nina.” Ia selalu menyebut rumah anak lelakinya dengan nama menantu, dan memanggil anak-anak kami “cucuku”. “Nina dan cucu-cucuku sehat?” “Sehat,” kubilang. “Baiknya Bunda istirahat dulu. Nanti sore kuantar….” “Tak penat aku!” tukasnya keheng, keras kepala. “Terus sajalah.” Aku lalu diam dan terus menyetir. Kapan pula dia merasa penat? Meski umur 80 dan tubuh makin ciut, stamina dan kegesitannya seolah tak berubah. Masih keliling ke berbagai kota bahkan pulau; melihat anak, cucu, dan cicit. Masih pasang mata dan telinga baik-baik, mengikuti perkembangan mereka. Di hari baik bulan baik bagi yang bersangkutan (ulang tahun, naik kel

Sukro dan Sukra

      Langit kelam dan senja lebam dalam guyuran hujan lebat. Kilat menjilat sambung-menyambung seperti ingin membakar langit. Halilintar bersahut-sahutan tiada henti bagai ingin membelah dunia. Kedinginan di halte bus senja itu aku merasa benar-benar kecil. Pasrah oleh jilatan tempias hujan atau sesekali cipratan air yang dilindas ban-ban mobil. Angin berkesiur liar kian kemari. Terlintas dalam benakku bagaimana jadinya jika aku disambar petir. Tubuh terbakar hangus seketika. Gosong. Atau tiba tiba air bah datang dan menghanyutkan tubuhku seperti sepotong kayu. Rasa sesal dan kesal menyeruak dalam dadaku. Betapa bodoh dan tololnya aku. Bukankah aku seharusnya turun di dua halte berikutnya? Kalau tidak melakukan tindakan tolol ini, mungkin aku sudah duduk sembari ngopi ditemani istriku di sebuah gubuk tempat kami mengontrak selama ini. Dalam badai petir seperti ini, mungkin juga aku sudah berada di tempat tidur bersama istriku, seorang perempuan yang tidak cantik tapi ju

Ayunda Mengejar Cinta Part 2

Kriinggg… Bel tanda masuk berbunyi, kini aku dan teman-teman sekelasku sedang sibuk dengan buku Jepang kami masing-masing, ulangan Jepang yang akan dilaksanakan pada hari ini sudah berhasil membuat murid-murid di kelasku mendadak rajin untuk sesaat. Aku yang sudah belajar sejak tadi malam tidak ada sedikitpun raut wajah panik atau tegang yang tergambar pada wajahku, begitu pula dengan Yuda yang mungkin sama halnya denganku yang sudah belajar sejak malam tadi, tidak ada sedikitpun raut wajah panik di wajah tampannya, berbeda dengan teman-temanku yang lain yang terlihat jelas bahwa saat ini mereka sedang tegang memikirkan ulangan yang akan segera di mulai beberapa menit lagi. “Ohayou gozaimasu (selamat pagi)” ucap Sensei (yang berarti guru) Hara yang baru saja masuk ke dalam kelas dan bergegas menyimpan tas yang dia bawa, ke meja. “Ohayu (pagi) Sensei ” Jawab kami, serempak. “Seperti yang sudah Sensei katakan, bahwa hari ini kita akan mengadakan ulangan harian, nah sekarang tolong ka

Ayunda Mengejar Cinta Part 1

Jam sudah menunjukkan pukul 05.00 pagi, aku terbangun dari tidur pulasku, alarm yang ku pasang malam tadi sudah sangat sukses membuatku terbangun dari mimpi yang menurutku sangat indah untuk menjadi sebuah kenyataan. Aku sekarang sudah beranjak berdiri di depan pintu kamar mandi yang tepat berada dalam kamar yang identik dengan warna merah, kamarku. Segera aku bergegas masuk kamar mandi dan sekitar 10 menit aku sudah selesai dengan tugasku di kamar mandi, dan seperti hari-hari sebelumnya, setelah selesai mandi aku segera memakai seragam sekolah dan memasangkan dasi yang di lingkarkan di sekitar kerah seragam sekolahku, rambut hitam sebahuku kini kurapihkan dengan sisir berwarna merah milikku. Tak lupa wajah bulat putihku pun, aku poles dengan sedikit bedak bermerek nellco yang beberapa minggu lalu aku beli di supermarket dekat rumahku. Ada aroma harum yang tercium saat aku memoles bedak pada wajahku, saking harumnya aku jadi ketagihan menghirup aroma bedaknya, dan di tambah lagi de

Cerpen - Aku

    Aku merasa kau menggamit tanganku ketika ombak ketiga menggulung kita. Waktu itu samar-samar kulihat kilau perahu terbalik di arah matahari. Tetapi semuanya sudah jauh sekali dari jangkauan. Karena itu, sudahlah, aku memilih jadi bagian dari laut. Kulepaskan gamitan tanganmu, dan aku meluncur ke dasar serupa terumbu. Kelak jika kau ke laut dan bertemu dengan ikan-ikan kecil yang berenang di antara terumbu karang, mungkin itulah aku, kekasih. Sejak itu aku tak pernah bertemu denganmu. Kadang di antara gerak angin yang mengantarkan riak ke pantai, aku menyusup sekadar melacak jejak tapak kakimu. Tetapi ribuan empasan air dan angin telah lama menghapus jejak itu. Aku cuma ingat di dekat pohon camplung berdaun lebat sebelum gumuk pasir, kita pernah berteduh beberapa saat sebelum memutuskan untuk melaut. Mudah-mudahan kau ingat pula akulah yang bersikeras mengajakmu melaut di musim angin itu. Padahal kau sudah berulang kali memperingatkan, musim ini tak baik berperahu, apalagi se

Sepasang Mata Malaikat

Gambar
itu berdiri di dekat jendela. Temaram lampu kamar, membingkai  bayangannya seperti setengah memanjang. Sesaat, aku hanya menangkap   nuansa kesedihan di wajahnya. Wajah yang menyiratkan selaksa kepucatan yang membentang seperti iring-iringan awan melingkupi langit. Dia lebih banyak diam, mendengarkan dengan syahdu suara seseorang di seberang. Aku tahu, dia sedang mengangkat telepon istrinya. Tetapi, aku tak mendengar dengan jelas: suaranya pelan setengah berbisik, seperti dengung serangga. Sesekali, ia mengangguk-angguk. Aku masih meringkuk dibalut selimut. Tapi tiba-tiba, kulihat segumpal warna serupa sisa badai yang menggumpal di sudut matanya. Mata yang membuatku bergidik menatapnya lebih lama. Tak sampai semenit, dia mematikan handphone, kemudian berjalan ke arahku. ”Aku harus pulang,” suaranya datar tidak terlalu mengejutkanku. Seperti hari-hari yang lain, dia tidak selalu mengungkapkan satu alasan pun sebelum pergi dari rumahku. ”Apakah istrimu tahu kalau malam ini kau