Postingan

Menampilkan postingan dari Juli 20, 2014

Selembar Daun

DAUN  ini, entah daun apa—bentuknya bergerigi dan gerigi itu masih seperti beranak-pinak lagi, seperti kombinasi daun sakun, pepaya dan daun ganja—yang entah jatuh dari ranting mana, memintaku jadi pohon. Suatu sore, di jalan pulang, tepat di sisi kelokan yang menghubungkkan langgar, pasar krempyeng, pos ronda dan klinik bersalin, daun itu tiba-tiba bangkit dari tanah dan menghadang langkahku. “Aku mohon, jadilah kau pohon, agar aku bisa menggantungkan tubuhku. Aku daun yang terkutuk. Angin telah menerbangkan aku ke tujuh penjuru, tapi tanah dan air tetap menolak. Aku mohon, jadilah pohon….”  Daun terkutuk? Kenapa selembar daun terkutuk? Apa dosa yang telah diperbuat daun ini, sehingga air dan tanah tak menerima jasadnya? Kembali kuamati daun itu. Geriginya lima. Warnanya merah. Merah tua agak kehitaman, seperti ada dendam diredamnya. Ia berdiri dengan dua gerigi bawah yang bentuknya mirip kaki. Sedang gerigi kanan dan kiri di bawah satu gerigi lain, seperti tangan yang kadang

Rumah Air

JIKA  hujan singgah, Mamah akan gelisah. Hujan memang anugerah. Pohon-pohon yang kekeringan, daun-daun yang kehausan, dan rumput-rumput yang ranggas akan senang menerima guyuran air segar basah. Tapi hujan juga bisa jadi musibah. Air yang melimpah-ruah tapi tak lancar mengalir bakal menjadi banjir. Rumah kami yang mungil pun dipaksa menjadi rumah air. Sejak Ibu pindah ke Jakarta untuk bekerja agar aku bisa tetap bersekolah tanpa kekurangan biaya, aku tinggal bersama Aki dan Mamah—orangtua almarhum Bapak. Rumah warisan Bapak yang terletak di batas kota—cukup jauh dari tempat tinggalku sekarang—disewakan kepada tetangga yang memerlukan rumah bagi anaknya yang baru menikah.  Rumah Aki yang pensiunan guru sekolah dasar tidaklah luas. Bangunan sederhana itu hanya punya dua kamar mungil dan halaman depan kecil yang dipenuhi aneka tanaman. Ada pohon jambu air yang ditanam Aki persis bersamaan dengan hari aku dilahirkan dan kini sudah tumbuh tinggi dan rajin berbuah. Ada melati yang sela

Di Tubuh Tarra, Dalam Rahim Pohon

DI PASSILIRAN 2  ini, kendati begitu ringkih, tubuh Indo 3  tidak pernah menolak memeluk anak-anaknya. Di sini, di dalam tubuhnya—bertahun-tahun kami menyusu getah. Menghela usia yang tak lama. Perlahan membiarkan tubuh kami lumat oleh waktu—menyatu dengan tubuh Indo. Lalu kami akan berganti menjadi ibu—makam bagi bayi-bayi yang meninggal di Toraja. Bayi yang belum tumbuh giginya. Sebelum akhirnya kami ke surga. Beberapa hari yang lalu, kau meninggal—entah sebab apa. Kulihat kerabatmu menegakkan eran 4  di tubuh Indo untuk mereka panjati. Sudah kuduga, kau keturunan tokapua 5 , makammu harus diletakkan di tempat tinggi. Padahal kau, aku, dan anak-anak Indo yang lain, kelak di surga yang sama.  Pagi-pagi sekali, kau berdiri di ambang bilik—mengetuk pintu ijukku yang rontok sebab bertahun-tahun tak diganti. ”Boleh masuk?” Aku mengangguk, takut salah bicara dan kau akan murka. Bagi tomakaka’ 6  sepertiku, tak ada yang lebih hina dari salah bertutur kepadamu. ”Maaf,” bukamu, ”s