Postingan

Menampilkan postingan dari Maret 30, 2014

Bocah-Bocah Berseragam Biru Laut

Aku seperti kupu-kupu di ruang ini. Kupu-kupu dengan sayap yang butut dan rapuh. Kupu-kupu yang kadang kala berlagak bisa terbang jauh. Seekor kupu-kupu yang berharap bisa mendekati fakta tetapi malah terperangkap di kaca jendela. Lingsut, lelah, dan menggelepar di sana. Mungkin selamanya. Ruang teduh, ruang nyaman. Ruang tunggu dengan warna pastel. Lubang-lubang ventilasi kecil di dekat langit-langit tinggi itu membawa bocoran harum yang mungkin berasal dari beranda surga. Ratusan kepala bocah yang ada di dalamnya menekuri lantai, ratusan yang lain terlentang menatap langit-langit ruang. Aku mengitari mereka perlahan-lahan, sebagaimana seekor kupu-kupu mencari hinggapan. Kepala-kepala itu masih penuh cerita. Kepala-kepala itu masih penuh derita. Yang membuat lega hanyalah ketika malaikat penjaga neraka menolak mereka. ”Tempat ini bukan untuk anak-anak manis seperti kalian. Pergilah ke ruang tunggu yang nyaman itu. Tunggulah sejenak, sebentar lagi surga akan dibuka tepat pada saat

Ajaran Kehidupan Seorang Nenek

Jauh-jauh aku datang, dimulai hari pertama aku sudah mendapat kekecewaan. Ibu tidur di kamar Puspa, tapi tidak boleh menggendong dia,” kata anak sulungku. “Kalau dia terbangun dan menangis?” “Biarkan saja! Anakku tidak kubiasakan digendong.” Seolah-olah dia tidak yakin bahwa aku mengerti kata-katanya, anakku mengulangi, nada suaranya terkesan mengancam, “Betul lho, Bu! Jangan sampai begitu Ibu pulang, aku direpoti anak manja dan terlalu minta diperhatikan!” Barangkali karena kaget, aku terdiam. Bayangkan! Hanya ibuku yang seharusnya berhak berbicara dalam nada seperti itu kepadaku. Aku tersinggung. Semakin umur bertambah, sakit hati semakin sering kualami. Aku direktris suatu rantai usaha swadaya yang boleh dikatakan sukses. Semua karyawan di tempatku hormat kepada, berbicara nyaris kuanggap berlebihan terlalu sopan bagiku. Di saat-saat mengunjungi perusahaan atau kantor lain, orang-orang menerimaku dengan sikap dan pandang ering 1) yang acapkali membuat aku merasa risi

Perjumpaan Perempuan

Taksi berhenti. Rita menyerahkan ongkos, membuka pintu, beranjak turun. Ayu mengikutinya. Kedua perempuan itu berjalan mendekati sebuah rumah yang cukup mentereng. Sudah tidak nampak tanda-tanda dukacita, setelah dua minggu lalu kepala keluarga di rumah itu, Rahardjo, meninggal dunia. Ma, apa ini benar-benar perlu kita lakukan sih?” tanya Ayu. ”Sudahlah. Jangan ragu begitu….” ”Aku malu, Ma,” kata Ayu. ”Kita pasti dipandang rendah oleh perempuan itu.” ”Tidak perlu malu. Dia juga perempuan. Mama perempuan. Kamu juga perempuan. Ingat lho, kamu sudah delapan belas tahun.” ”Nyonya Rahardjo mungkin bisa bijaksana seperti Mama. Tetapi anak-anaknya bagaimana? Bisa-bisa aku dicibir sama mereka.” ”Papa mereka kan Papa kamu juga, buat apa mereka mencibir,” kata Rita. ”Dua anak Nyonya Rahardjo juga perempuan, hanya satu yang lelaki.” ”Ah, jadi repot. Amit-amit deh, tidak bakal aku nanti mau menjadi istri kedua seperti Mama,” kata Ayu. Rita memandang tajam ke arah Ayu. Kemudian me