Postingan

Menampilkan postingan dari Juni 22, 2014

Gerimis Senja

  Senja Agustus memerah di kaki bukit Petrin, Mala Strana. Langit mengencingi Praha tak habis-habis. Gerimis turun sejak siang dan tak juga membesar. Sungai Vltava baru saja mulai tenang setelah marah meletup-letup selama setengah pekan lalu. Dua hari lalu, airnya naik hingga sembilan meter. Jembatan Charles nyaris terendam. Kemarahan Vltava nyaris saja menenggelamkan Praha. Kau ada di situ. Begitu saja. Berpayung jingga. Berdiri mematung. Matamu terlihat menerawang. Bajumu putih, sedikit berenda. Kalau saja matahari sedang berbaik hati pada Praha, rok tipismu tentu menerawang pula. Kau seperti berjejer dengan patung-patung monumen itu. Menjadi bagiannya yang paling menarik. Monumen karya Olbram Zoubek itu sederhana belaka. Terdiri dari tujuh anak tangga dengan tujuh sosok di atasnya. Ketujuhnya terlihat sedang melangkah naik. Sosok yang berdiri di anak tangga terbawah adalah seorang lelaki dengan tubuh yang lengkap. Tapi semakin tinggi anak tangga, semakin tak lengkap bagian tubuh

Hening Di Ujung Senja

Ia tiba-tiba muncul di muka pintu. Tubuhnya kurus, di sampingnya berdiri anak remaja. Katanya itu anaknya yang bungsu. Kupersilakan duduk sambil bertanya-tanya dalam hati, siapa mereka berdua? “Kita teman bermain waktu kecil. Di bawah pohon bambu. Tidak jauh dari tepi Danau Toba,” katanya memperkenalkan diri. Wau, kataku dalam hati. Itu enam puluh tahun yang lalu. Ketika itu masih anak kecil, usia empat tahun barangkali. “Ketika sekolah SD kau pernah pulang ke kampung dan kita bersama-sama satu kelas pula,” katanya melanjutkan. Aku tersenyum sambil mengangguk-angguk. Belum juga dapat kutebak siapa mereka. Ia seakan-akan mengetahui siapa mereka sesungguhnya. “Wajahmu masih seperti dulu,” katanya melanjutkan. “Tidakkah engkau peduli kampung halaman?” tanyanya. “Tidakkah engkau peduli kampung halamanmu?” tanyanya membuat aku agak risih. Dulu pernah keinginan timbul di hati untuk membangun kembali rumah di atas tanah adat yang tidak pernah dijual. Pelahan-lahan timbul ingatan di dala

Perempuan Di Dapur

Dinanti-nanti matinya, Wak Haji Mail malah mulai mengigau. Semula tak seorang pun menangkap apa yang dikatakannya. Kupikir bukan tak bisa. Tak mau, lebih tepatnya. Aku sendiri, begitu diizinkan mendengar langsung segera mencerna, bukan kata, melainkan sepotong nama. Gumam ini berulang di antara tarikan nafasnya yang payah. Saodah. Dua minggu setelah rumah sakit menyerah dan mengembalikannya ke rumah, Wak Haji Mail belum juga dijemput Izrail. Keempat belas anak dari tiga pernikahannya semakin sulit meredam cemas, silih berganti berjaga di luar kamar, siap untuk memberontak dari pembagian harta waris yang tak adil. Tak mungkin adil. Lepas maghrib tadi Haji Mail membuka mata dan mulutnya kembali bersuara. Satu jam kemudian semua orang terus berebutan masuk sehingga Wak Misnah naik pitam. Empat belas anak, beserta cucu-cucu, tentulah membuat keadaan bisa cepat berubah menjadi pasar malam. Itulah saatnya Wak Misnah, istri pertama Haji Mail, mengusir semua orang dan memanggilku masuk.

Pesan Dari Sahabat Lama

Aku telah kehilangan dia mungkin sekitar 30 tahun, sejak kerusuhan di Ibu Kota itu meletus dan nyawa-nyawa membubung bagai gelembung- gelembung busa sabun: pecah di udara, lalu tiada. Waktu itu, di tengah kepungan panser yang siap menggilas siapa saja, doaku sangat sederhana: semoga Tuhan belum berkenan memanggilnya. Dia terlalu muda dan berharga untuk binasa, apalagi dengan cara yang mengenaskan. Aku ingin melanjutkan doa yang terlalu singkat itu, namun mendadak senapan-senapan menyalak dan tubuh-tubuh tumbang, menambah jumlah mayat yang terserak-serak. Jalanan aspal makin menghitam disiram darah. Amis. Aku pun berharap segera turun hujan atau setidaknya gerimis agar jalanan itu sedikit terbasuh dan suasana rusuh itu sedikit luruh. Ketika kerumunan massa bergerak dan merangsek istana, aku masih melihat dia berdiri di atas tembok, mengibas-ngibaskan bendera sambil berteriak-teriak. Kerumunan orang-orang pun makin merangsek: mencoba menumbangkan pagar besi istana. Entah berapa b

Ular Randu Alas

Tersembunyi kisah rahasia pada sebatang pohon randu alas tua. Tak seorang pun berani menebangnya. Seabad sudah pohon randu alas itu berumur. Aku menduga, pohon randu alas yang menjulang kokoh di tepi jalan pertigaan menuju perumahan tempat tinggalku berumur lebih dari seabad. Sejak aku kecil, pohon randu alas itu telah tumbuh sebesar sekarang—empat rentangan tangan orang dewasa—rindang dan menggugurkan daun-daun kering kekuningan pada musim kemarau. Umurku kini enam puluh dua, sudah beberapa tahun pensiun, menjadi saksi pohon randu alas yang berdiri tegak, rimbun dedaunan, dan dianggap angker. Seekor ular bersarang di rongga lapuk pangkal pohon randu alas yang menganga serupa gua. Bila diintip ke dalam gelap rongga pangkal pohon itu, tampak sepasang mata ular berkilau mengancam. Sepasang mata seekor ular yang siap mematukku, suatu saat bila aku terlena. Sebatang pohon jambu biji tumbuh liar di bawah pohon randu alas—mungkin sisa hutan jambu yang ditebang habis untuk lahan per