Legenda Dewi Bulan dan Pemanah Matahari Jaman dahulu kala, di China hiduplah sepasang suami istri. Sang istri bernama Chang ‘E dan suaminya bernama Hou Yi. Kehidupan mereka berubah ketika suatu hari, sepuluh matahari - yang berupa sepuluh ekor burung api yang seharusnya muncul bergantian di langit – tiba-tiba muncul bersamaan, menyebabkan bencana ke bumi. Kekeringan dan kemarau panjang melanda. Hou Yi, seorang pemanah ulung, dengan panah pusakanya berhasil memanah sembilan dari sepuluh matahari itu, menyisakan satu untuk menunjang kehidupan di bumi. Hou Yi menjadi pahlawan dan seharusnya kisah ini berakhir bahagia. Seharusnya. Berkat jasanya, sang Ratu Langit memberikan hadiah berupa dua buah pil keabadian agar Hou Yi dan Chang ‘E bisa hidup abadi di istana langit. Mereka memutuskan untuk sementara menyimpan pil itu dan menunggu saat yang tepat untuk naik ke langit. Dengan bahagia, pasangan itu menanti hari baik untuk bersama-sama menjadi sepasang Dewa. Namun malang tak dap
Postingan populer dari blog ini
Kak Ros
Begitu keluar dari kamar dan tak sengaja menatap ke taman itu, aku terpaku: Kak Ros, perempuan hampir separo baya itu, sedang membungkuk menyorongkan wajahnya ke rimbun tapak dara. Tentu bukan sesuatu yang aneh kalau cuma menyorongkan wajah, tetapi ini, seperti kemarin kata Ben, bibir perempuan itu bergerak-gerak samar. Jadi, apakah benar, Kak Ros sedang bicara dengan daun-daun? Dan tampaknya, bukan hanya bicara. Tangan Kak Ros bergerak lembut, menyentuh, mengusap daun-daun. Tangan yang lain, dengan tak kalah hati-hati, menyemprotkan air dari botol sprayer sedemikian rupa, hingga tampak seperti seorang ibu yang memandikan dan mengeramas rambut anaknya. Tempo-tempo, semprot dan usapan itu terhenti, lalu jarinya tampak seperti mengutip dan memindahkan sesuatu dari tangkai atau punggung daun, juga sangat lembut dan hati-hati. Kembali aku ingat kata Ben. Apakah perempuan itu tengah memindahkan semut, atau serangga kecil lain, agar tak terpelanting oleh semprotan air? ”Naa,”
Kematian Gumortap
Sembilan belas hari sebelum kematian Gumortap. ”Tangkap!” teriak seorang kenek kapal Makmur yang melemparkan tali kapal ke arah orang-orang yang berkerumum di tepi pelabuhan Onansait. Langit pagi sebagian masih memerah. Angin bertiup ringan. Dua orang pemuda dengan agak berebutan menerima tali itu, dan salah seorang yang berhasil menangkapnya segera mengikatkannya ke tiang tambatan kapal Penjelajah yang sedang berlabuh. Ikat yang kencang!” teriak si kenek ke arah si pemuda yang mengikatkan tali itu, seraya menahan gerak kapal Makmur dengan menjolokkan galah bambu ke geladak kapal Penjelajah. Sisi kedua kapal itu kemudian berendeng, dan kapal Makmur mendekati dermaga searah kapal Penjelajah. Kecuali melayani para penumpang borongan secara bebas, setiap pekan atau pasar mingguan maupun ke pelabuhan pemberangkatan ke kota-kota besar, ada pembagian jadwal antara kapal Makmur dan kapal Penjelajah dari kampung Onansait. Dan pagi itu adalah giliran kapal Makmur dari kampung sebelah me
Komentar
Posting Komentar