PERSAHABATAN SURI , CHIKO DAN BURUNG LIAR


Suri adalah anak yang baru berumur 3 tahun, dia belum bisa membaca karena belum sekolah dan belum belajar mengenal huruf dan angka. Tiap hari dia selalu bermain dengan beragam mainan boneka dan kucing kesayangannya.
Kucingnya bernama Chiko, dia adalah kucing berwarna putih yang senang melompat. Chiko dan Suri biasa bermain di ruangan tengah bersama keluarganya. Sesekali mereka juga bermain di halaman depan. Di sana ada rumput dan pepohonan yang menyejukkan.
“Suri… Ayo sarapan dulu..”
Mama memanggil Suri dari dapur. Chiko menghampiri mama sambil melompat-lompat. Dia seperti mengerti bahwa makanan untuknya juga sudah disiapkan. Suri mengikuti Chiko sambil memegang boneka komodonya yang terbuat dari kain yang lembut. Boneka itu terus Suri bawa sepanjang hari, bahkan hingga dia tertidur.
Suri dipangku mama untuk duduk di kursi meja makan. Mama mengambil sendok yang terbuat dari plastik untuk Suri. Suri memang belum bisa makan sendiri, sendok itu hanya dia pegang saja. Mama yang menyuapi Suri.
Satu kali mama menyuapi, Suri kemudian ikut memperagakan menyuapi boneka komodonya. Dia tidak mengambil bubur seperti yang dilakukan mama. Suri hanya pura-pura tidak ada ada makanan apapun untuk boneka komodonya.
“Ma, ci Komona cekalang mau banak makan telul, bial cehaaaat…”
Begitulah Suri berkata. Mama sudah mengerti bahwa Suri ingin ditambah telurnya pada suapan kali ini. Sebelumnya Suri memang tidak suka telur, tapi karena mama pernah menceritakan tentang anak yang tidak suka makan telur, maka Suri mulai mau memakannya.
“Nah, Suri juga harus banyak makan telur ya, supaya tidak seperti anak yang mama ceritakan kemarin,  kalo tidak makan telur jadi tidak sehat dan tidak bisa bermain lagi dengan mainan- mainan yang banyak”.
“Culi mau jadi anak cehat, Maa…”
Kata-kata Suri memang belum begitu jelas. Meski demikian, mama dan papa sudah mengerti dengan apa yang dikatakannya. Sesekali Suri juga sering menyanyikan lagu anak-anak, seperti lagu “Topi Saya Bundar,“ dan “Naik Kereta Api”. Suri senang sekali menyanyikan lagu itu ketika bermain dengan Chiko.
“Nah itu baru anak papa dan maa…”
“Maaa….”
Suri menjawab sambil menunjuk dengan sendok plastiknya ke arah mama. Lalu ketika mama akan menyuapi, mulutnya dengan sengaja ditutup, Suri memang suka menggoda mama dengan cara itu.
“Eeeeh, masa begitu. Hayo buka mulutnya, jangan mau kalah sama Chiko. Tuh ikannya si Chiko sudah hampir habis.”
Dengan cepat Suri menoleh, memandang  ke arah yang ditunjuk mama dengan isyarat itu. Di sana terlihat Chiko sudah memakan lebih dari setengah ikan yang utuh tadi. Chiko makan di samping kanan meja makan.
Melihat itu Suri jadi bersemangat untuk menghabiskan sarapannya. Dia tidak mau kalah cepat dengan Chiko. Sambil makan, sesekali ia menoleh ke arah Chiko yang tidak peduli dengannya dan mama. Chiko terus saja makan dengan posisi membelakangi mereka.
Selesai makan Suri kemudian minta diturunkan dari tempat duduknya. Suri bersorak karena telah mengalahkan Chiko yang masih makan. Namun Chiko tidak terpengaruh, dia tetap saja makan walaupun Suri mengejeknya.
“Hollee… Chiko kalaaaah…” Suri meledek Chiko sambil melompat-lompat. Suri kemudian dibawa mama untuk mandi dan ganti pakaian. Lalu mereka menuju ruangan tengah untuk menonton si Unyil,  tayangan televisi kesukaan Suri. Dia selalu menontonnya tiap hari.
Sementara mama mulai menyapu lantai rumah. Mama heran melihat beras yang berceceran di depan rumah, hingga sepanjang jalan menuju ke arah dapur. Memang tidak terlalu banyak, bahkan jika tidak diperhatikan dengan seksama, beras itu hampir tidak terlihat.
Beras yang berjatuhan itu ternyata berasal dari karung beras yang ada di dapur. Tanpa pikir panjang mama langsung membereskan karung beras yang sudah terbuka bagian atasnya itu. Dia berfikir mungkin Suri dan Chiko yang memainkannya.

Keesokan harinya, Suri pagi-pagi sekali sudah meminta pepaya dan pisang kepada mama. Tentu saja mama tidak memenuhi permintaan tersebut, karena terlalu pagi untuk makan buah-buahan. Selain itu, Suri juga memang belum sarapan, mama takut jika Suri nanti sakit perut.
“Itu bukan untuk Culi, tapi untuk bulung-bulung teman Culi…”
Mendengar perkataan Suri itu, mama mengernyitkan dahi. Dia kemudian bergegas menuju ke teras depan rumah. Karena tiap pagi Suri selalu bermain bersama Chiko di sana. Mama  penasaran dengan apa yang dikatakan Suri.
Teras tersebut langsung berhadapan dengan halaman rumah yang berumput hijau. Di sana sudah ada dua kulit pisang yang terkoyak seperti telah dimakan oleh burung. Tapi tidak ada satu pun burung  di sana.
Ketika bertanya kepada Suri, dia menjawab bahwa burung-burung tersebut sangat banyak. Tapi tidak mau bertemu orang dewasa, karena takut akan ditangkap dan dimasukkan ke dalam kurungan.
Suri meminta mama untuk menyimpan buah pepaya di depan rumah. Suri merengek dan menangis, karena mama tidak mau menyimpan pepaya tersebut di sana. Akhirnya mama menuruti saja. Mama meletakkan satu buah pepaya yang masih utuh dalam nampan plastik di teras depan rumah.
Lalu Suri dan mama kembali ke meja makan untuk sarapan. Mereka pun kemudian sibuk dengan aktivitasnya masing-masing. Hingga mama lupa ada sebuah pepaya yang disimpan di depan teras rumah.
Tidak berapa lama mama terkejut, ketika menyapu lantai rumah dan sampai di teras tempat menyimpan pepaya, ternyata pepaya tersebut sudah habis. Tinggal serpihan-serpihan kulitnya saja yang berserakan.
“Itu dimakan teman-teman Culi”
Suri berkata dari belakang mama, Chiko pada saat itu melompat-lompat meraih boneka Komodo yang dipegang Suri. Mama terdiam beberapa saat, tidak percaya karena tidak mendengar suara burung apapun yang mungkin memakan pepaya tersebut.
“Meleka dali hutan, kalena hutannya lucak maka meleka mau kanan dicini, Maa…”
Mama tidak berkata apapun. Dia hanya menatap tajam ke arah Suri yang berkata sambil mengelus boneka kesayangannya itu. Suri berkata dengan serius, hingga mama merasa bingung. Apakah benar apa yang dikatakan Suri tersebut? setahunya, hanya burung pipit saja yang ada di daerah sana. Sesekali mama melihat burung itu makan beras yang ditabur di halaman depan. Tapi tidak pernah melihat burung pemakan buah-buahan yang banyak, sebanyak yang  bisa memakan satu buah papaya dalam waktu singkat seperti itu.
Sejak itulah, setiap hari mama selalu menyimpan sebuah pepaya dan satu piring beras di halaman depan rumah. Setiap hari juga pepaya dan beras itu selalu habis, walaupun dia tidak pernah melihat burung –burung seperti yang dikatakan Suri. Pepaya dan beras itu memang di habiskan saat mama sedang memandikan Suri.

Pagi ini Papa Suri sudah datang dari luar kota. Dan seperti biasa mama sudah menyiapkan makanan burung di halaman depan walaupun tidak pernah melihatnya. Karena penasaran, kali ini Suri disuapi dan dimandikan oleh papa. Sementara itu, mama duduk mengintip dari balik jendela kaca ruangan depan. Mama benar-benar ingin melihat burung yang memakan papaya dan beras itu.
Sudah hampir dua jam mama duduk menunggu di teras, hanya ada dua ekor burung pipit yang terlihat makan beras di sana. Mungkin karena ada mama mereka jadi terlihat gelisah, setelah mematuk beras, burung-burung itu langsung melirik ke sekeliling sambil bersuara.
“Ma, meleka tidak akan makan lagi di lumah kita. Meleka cudah menemukan hutan yang balu.”
Suri sudah selesai sarapan dan dimandikan oleh papa. Suri bilang  bahwa burung-burung itu memang sudah beberapa hari ini menemukan hutan yang baru. Mereka hanya datang ke rumahnya untuk menjaga Suri sekeluarga. Karena papa Suri sedang bertugas ke luar kota.
Mendengar itu, mama hanya menggeleng-gelengkan kepala. Mama tidak mengerti dengan yang terjadi satu minggu ini. Keanehan yang memang baru kali ini saja dirasakannya.
Papa Suri tidak begitu menanggapi ketika mama menceritakan keanehan tersebut. Papa malah asyik bermain dengan Suri dan Chiko. Sementara itu, mama mulai membereskan pepaya dan beras yang sudah di tinggalkan burung pipit beberapa menit yang lalu.
Pada malam harinya, hujan deras  turun dengan petir yang menggelegar. Suri jadi terbangun, karena angin kencang mulai terdengar menerbangkan genteng yang ada di atap rumah. Suaranya sangat  keras sekali, Suri dan keluarga sangat ketakutan. Mereka kini berkumpul di ruangan tengah sambil berdoa.
Badai topan tersebut terjadi sekitar satu jam. Kini angin kencang sudah tidak terasa berhembus lagi. Tinggal hujan yang masih turun, tapi tidak terlalu deras seperti sebelumnya. Pada saat itu listrik sudah tidak menyala lagi, mungkin ada kabel yang tertimpa pohon tumbang. Syukurlah Suri dan keluarganya masih memiliki lilin sebagai penerangan darurat.
Tiba-tiba, terdengar suara orang mengetuk pintu. Ketika Papa Suri membukanya, ternyata tetangganya yang datang meminta pertolongan. Dia ingin menginap di rumah Suri, karena atap rumahnya terbang tertiup angin. Tak lama kemudian, beberapa tetangga juga datang menyusul. Mereka bertujuan sama, ingin menginap malam itu karena rumah mereka rusak dan tidak dapat melindungi dari hujan yang masih turun. Mereka pun tidur di sana bersama pada malam itu. Suri dan orang tuanya tidur di kamar, sementara yang lain di ruangan tengah dan kamar tamu.
Pagi harinya, ketika matahari baru samar terlihat. Kegaduhan di sekitar rumah Suri terjadi. Mereka adalah orang orang yang mengobrol di sekitar rumah Suri. Papa dan mama mulai keluar untuk mencari tahu penyebabnya. Sementara itu Suri berdiri di depan jendela, setelah dia meminta mama untuk membukakan jendela tersebut.

Ketika sampai di halaman depan, ternyata sudah berkumpul banyak orang di sana. Mereka melihat ke atap rumah Suri. Di sana ada ribuah burung yang melindungi rumah Suri sejak semalam. Itulah yang membuat rumah Suri tidak kebasahan waktu hujan, sayap-sayap burung itu terbuka lebar dan dirapatkan dengan sayap burung yang ada disampingnya.
Tak lama kemudian, ribuan burung itu satu persatu terbang meninggalkan rumah Suri, tinggallah kini atap rumah Suri yang sudah tidak ada  gentengnya, rupanya sejak semalam genteng itu sudah terbang ditiup angin. Burung-burung itulah yang menggantikan genteng yang berterbangan tersebut.
Suri melambaikan tangan dari jendela kamar. Dia mengucapkan terima kasih kepada teman-temannya tersebut. Beberapa burung sempat hinggap di jendela kamar, mereka seolah mengucapkan selamat tinggal kepada Suri. Kemudian merekapun terbang menyusul ribuan temannya yang terbang untuk pulang ke hutan barunya.
Chiko duduk mematung di samping Suri, dia mengeong mengikuti ucapan terima kasih dan perpisahan Suri, kepada burung-burung yang berterbangan meninggalkan mereka.
THE END~

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kematian Gumortap

Kak Ros